Beranda | Artikel
Menyikapi Perselisihan Dalam Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan
Sabtu, 6 Juli 2013

Di negeri yang kita cintai ini, hampir setiap tahunnya datangnya bulan suci Ramadhan dibarengi dengan adanya perselisihan diantara kaum muslimin mengenai penentuan awal dan juga akhir Ramadhan. Sebagian orang menggunakan metode ru’yatul hilal dan sebagian lagi lebih mempercayai hisab falaki atau perhitungan astronomis. Debat dan diskusi hampir selalu bergulir setiap tahunnya, bahkan lebih dari itu, sebagian orang menjadikan masalah ini sebagai patokan wala’ wal bara’, masing-masing mengunggulkan golongan dan ormasnya. Sebagiannya lagi menjadikan hal ini sebagai bahan pertengkaran dan caci-maki. Bagaimana sebenarnya sikap yang benar?

Mengenal Ijma’

Sebelumnya membahas inti permasalahan, sudah semestinya kita membahas sedikit tenttang ijma’, karena memiliki kaitan erat dalam persoalan ini. Al Ijma’ (الإجماع) secara bahasa artinya kesepakatan. Sedangkan secara istilah,

اتفاق مجتهدي عصرٍ من العصور من أمة محمد – صلى الله عليه وسلم – بعد وفاته على أمر ديني

“Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari beberapa generasi umat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam setelah wafatnya beliau dalam masalah agama” (lihat Ma’alim Ushul Fiqh, 156).

Para ulama sepakat bahwa ijma’ adalah hujjah (dalil ) dalam syari’at yang wajib diikuti dan diamalkan. Diantara dalil yang mendasari bahwa ijma’ adalah dalil diantaranya,

  • firman Allah Ta’ala:

    وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

    Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisa: 115)

    Inti pendalilan dari ayat ini adalah pada kalimat وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ (dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin). Ibnu Katsir menyatakan: “sifat ini dengan sifat yang pertama (menentang rasul) saling berkonsekuensi. Namun yang termasuk dalam sifat ini terkadang bentuknya berupa penyelisihan terhadap nash syar’i atau terkadang berupa penyelisihan terhadap hal yang sudah disepakati oleh umat yang mengikut jalan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika telah diketahui bahwa mereka bersepakat dalam suatu hal maka dalam kesepakatan itu ada al ishmah, yaitu kemustahilan dari kesalahan. Ini pemuliaan terhadap mereka dan pengagungan terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Hadits-hadits yang berbicara masalah ini banyak sekali…” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/412-413).

  • firman Allah Ta’ala:

    كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بالله

    Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Al Imran: 110).
    Allah Ta’ala menyifati umat Muhammad sebagai umat yang menyuruh pada semua kebaikan dan mengingkari semua kemungkaran. Jika umat ini bersepakat untuk menyatakan suatu kesesatan maka Allah tidak akan menyifati demikian. Sehingga apa-apa yang disepakati oleh umat ini adalah sebuah kebenaran. Selain itu umat ini juga tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan (Ma’alim Ushul Fiqh, 161).

  • Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    عليكمْ بالجماعةِ، وإياكم والفرقةَ، فإنَّ الشيطانَ مع الواحدِ وهو من الاثنينِ أبعدُ . من أراد بحبوحةَ الجنةِ فلْيلزمِ الجماعةَ

    Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)
    Hadits ini memerintahkan kita untuk berpegang pada Al Jama’ah. Dan diantara makna Al Jama’ah adalah kaum muslimin jika sepakat pada suatu perkara. Akan dirinci nanti.

  • Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

    إن أمتي لا تجتمع على ضلالة

    Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan” (HR. At Tirmidzi 2166, ia berkata: ‘hasan gharib’).
    Hadits ini jelas menunjukkan bahwa kesepakatan umat adalah kebenaran.

Perihal ketetapan ijma’ sebagai dalil yang dipakai dalam syariat, cukup gamblang dan banyak dijelaskan di buku-buku ushul fiqih semua madzhab. Maka ijma adalah dalil, dan seorang mukmin tidak boleh menyelisihi dalil. Bahkan jika merujuk pada surat An Nisa ayat 115, keras sekali ancaman bagi orang yang menyelisihi ijma. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

وإذا ثبت إجماع الأمة على حكم من الأحكام لم يكن لأحد أن يخرج عن إجماعهم

“Jika telah diketahui secara valid bahwa umat ini menyepakati hukum suatu perkara, maka tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk keluar dari ijma tersebut” (Majmu’ Fatawa 10/20, dinukil dari Ma’alim Ushul Fiqh, 173)

Lalu apakah boleh ulama di zaman sekarang menyelisihi ijma para ulama terdahulu yang sudah disepakati? Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab: “hal-hal yang sudah terdapat ijma para ulama terdahulu tidak boleh diselisihi bahkan wajib berdalil dengannya. Adapun masalah-masalah yang belum ada ijma sebelumnya maka ulama zaman sekarang dapat ber-ijtihad dalam hal tersebut. Jika mereka bersepakat, maka kita bisa katakan bahwa ulama zaman sekarang telah sepakat dalam hal ini dan itu” (sumber lihat di sini).

Para Ulama Ijma’ Mengenai Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan

Syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan itu dengan 2 cara: ru’yatul hilal atau menggenapkan Sya’ban 30 hari. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

صوموا لرؤيَتِهِ وأفطِروا لرؤيتِهِ ، فإنْ غبِّيَ عليكم فأكملوا عدةَ شعبانَ ثلاثينَ

Berpuasalah karena melihatnya (hilal), berbukalah karena melihatnya (hilal), jika penglihatan kalian terhalang maka sempurnakan bulan Sya’ban jadi 30 hari” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081)

Dan para ulama telah ber-ijma’ mengenai hal ini. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau Fathul Baari (4/123) mengatakan:

وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة

“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan’. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:

فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ا.هـ

“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.

Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) juga mengatakan:

وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ

“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.

Dan masih banyak nukilan ijma’ mengenai hal ini. Menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah masalah yang diperselisihkan para ulama, atau dengan kata lain bukan masalah khilafiyah diantara para ulama. Dengan demikian sebagaimana sudah dijelaskan di atas mengenai wajibnya berpegang pada ijma’, hendaknya setiap muslim tidak menyelisihi ijma’ para ulama dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan.

Perselisihan Itu Banyak, Solusinya Kembali Kepada Dalil

Ketahuilah bahwa khilafiyah (perselisihan) dalam masalah agama itu banyak, tidak hanya masalah penentuan awal Ramadhan saja. Dari segi siapa yang berselisih, khilafiyah dapat kita kelompokkan menjadi 2:

  1. Khilafiyah diantara ulama.
  2. Khilafiyah diantara orang awwam (umat secara umum)

Sehingga kita sering dapati masalah-masalah yang para ulama tidak berselisih tentangnya, namun orang-orang awam memperselisihkannya. Demikian juga masalah-masalah yang sudah terdapat dalil yang terang benderang, namun ternyata di tengah masyarakat menjadi perselisihan juga.

Dengan demikian masalah khilafiyah itu menjadi sangat banyak, karena bagi orang awam hampir tidak ada masalah yang lepas dari perselisihan. Bahkan perkara-perkara yang sudah diterima secara luas kebenarannya pun masih ada saja segelintir orang yang memperselisihkan. Contohnya mengenai wajibnya shalat dan wajibnya memakai jilbab, ada saja sebagian orang awam yang memperselisihkannya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا ، فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين تمسكوا بها ، وعضوا عليها بًالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة

Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, juga agar mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia budak Habasyah. Karena barangsiapa yang hidup sepeninggalku nanti akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa Ar Rasyidin yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Peganglah dengan erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham. Dan hendaknya kalian menjauhi perkara yang diada-adakan, karena yang diada-adakan dalam agama itu bid’ah dan semua bid’ah itu sesat” (HR. Abu Daud, 4607, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2735)

Ternyata perselisihan yang banyak ini sudah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dan beliau sudah memberikan solusinya. Allah Ta’ala juga berfiman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)

Jika demikian solusi yang ditawarkan oleh Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan yaitu :

  1. Kembali kepada Al Qur’an
  2. Kembali kepada sunnah Nabi melalui hadits-haditsnya,
  3. Kembali kepada pemahaman para Khulafa Ar Rasyidin dan juga para sahabat Nabi
  4. Meninggalkan perkara bid’ah

Maka, terkait perselisihan kaum muslimin dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan, solusinya adalah kembali kepada dalil-dalil syar’i sesuai apa yang dipahami oleh para sahabat Nabi dan disepakati oleh para ulama Islam yang memerintahkan untuk menggunakan ru’yatul hilal dalam penentuan awal dan akhir ramadhan. Jadi, bukan kembali kepada keyakinan masing-masing, bukan kembali pada pendapat ormas, pendapat partai atau pendapat tokoh agama. Setiap mukmin hendaknya tasliim, menerima dengan lapang dada dalil-dalil yang telah ditetapkan syariat dalam masalah ini serta menerima dengan lapang dada ijma-nya para ulama Islam.

Mentoleransi Semua Pendapat, Demi Persatuan?

Sebagian orang mengajak kaum muslimin untuk tidak mengindahkan perselisihan yang ada dan lebih mengedepankan persatuan secara fisik. Dengan kata lain, mereka menginginkan apapun keyakinan dan penyimpangan yang ada di tengah kaum muslimin, entah benar atau salah, tidak perlu di gugat dan tidak perlu dipermasalahkan demi terciptanya persatuan secara fisik. Tentu bukan demikian persatuan yang diajarkan oleh Islam. Bahkan demikianlah persatuan ala Yahudi. Allah Ta’ala menceritakan tentang kaum Yahudi:

بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.  Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti” (QS. Al Hasyr: 14).

Tentu saja persatuan secara fisik itu perlu dan penting. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. Ash Shaf: 4)

Namun persatuan yang Islami adalah persatuan yang di dalamnya ada sikap saling menasehati, karena Islam adalah agama nasehat dan mengajarkan untuk mengingkari kemungkaran. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ن رأى مِنكُم مُنكرًا فليغيِّرهُ بيدِهِ ، فإن لَم يَستَطِع فبِلسانِهِ ، فإن لم يستَطِعْ فبقَلبِهِ . وذلِكَ أضعَفُ الإيمانِ

Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim 49)

Andai berbagai keyakinan batil dan penyimpangan syariat ditengah umat kita toleransi, tidak diingkari, tidak diperbaiki, demi persatuan secara fisik, maka mau kita kemanakan hadits Nabi yang mulia ini?

Sesama muslim adalah auliya bagi muslim yang lain. Namun renungkanlah firman Allah Ta’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar” (Qs. At Taubah: 71)

Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305). Lihatlah dalam ayat ini, sesama muslim adalah auliya, namun mereka juga saling menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah pada yang munkar.

Mengikuti Ijma Dan Taat Penguasa, Tuntutan Persatuan Kaum Muslimin

Persatuan yang diajarkan Islam adalah bersatu dalam Al Jama’ah, yaitu bersatunya umat Islam dalam kebenaran. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

عليكم بالجماعة ، وإياكم والفرقة ، فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة .ن سرته حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن

Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)

Al Jama’ah bukanlah nama sekte, nama ormas, nama partai atau madzhab tertentu. Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu, menafsirkan istilah Al Jama’ah:

الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك

“Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendirian” (Dinukil dari Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70)

Dan salah satu makna dan ciri dari Al Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti ijma’ dan bersatu dibawah penguasa kaum muslimin yang sah. Dengan kata lain, mengikuti ijma’ dan taat pada penguasa adalah tuntutan untuk mewujudkan persatuan yang benar. Ini dijelaskan oleh Imam Asy Syathibi rahimahullah: “Para ulama berbeda pendapat mengenai makna Al Jama’ah yang ada dalam hadits-hadits dalam lima pendapat:

  1. As sawadul a’zham dari umat Islam. Termasuk dalam makna ini para imam mujtahid, para ulama, serta ahli syariah yang mengamalkan ilmunya. Adapun selain mereka juga dimasukkan dalam makna ini karena diasumsikan hanya mengikuti orang-orang tadi”
  2. Para imam mujtahid. Dalam makna ini, tidak termasuk orang-orang yang bukan imam mujtahid karena mereka hakikatnya adalah ahli taqlid. Maka barangsiapa yang beramal dengan keluar dari pendapat para imam mujtahid, lalu mati, maka matinya sebagai bangkai jahiliyah. Dalam makna ini tidak termasuk juga seorang pun dari ahlul bid’ah (artinya, adanya pendapat yang beda dari ahli bidah tidaklah mempengaruhi keabsahan ijma, ed).
  3. Para sahabat Nabi saja. Makna ini sesuai dengan riwayat dari Nabi yang menafsirkan makna Al Jama’ah, yaitu:

    ما أنا عليه وأصحابي

    Siapa saja yang berpegang padaku dan para sahabatku

  4. Umat Islam jika bersepakat dalam sebuah perkara (baca: ijma’). Maka wajib bagi orang-orang yang menyimpang untuk mengikuti mereka. Asy Syathibi lalu memberi catatan: “Makna ini sebenarnya kembali pada makna kedua (para imam mujtahid), dan berkonsekuensi sama seperti konsekuensi dari makna kedua. Atau kembali pada makna pertama, dan inilah yang lebih nampak. Dan secara makna pun, sama seperti makna pertama. Karena sudah pasti butuh peran para imam mujtahid di antara mereka barulah bisa terwujud umat tidak akan bersatu dalam kesesatan, bahkan merekalah golongan yang selamat”
  5. Pendapat yang dipilih Imam Ath Thabari, yaitu bahwa Al Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin yang berkumpul di bawah pemerintahan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan ummat untuk berpegang pada pemerintahnya dan melarang memecah belah apa yang telah dipersatukan oleh umat sebelumnya.

Dengan demikian, jika memang tulus ikhlas ingin mewujudkan persatuan kaum muslimin dan menjaga keutuhan kaum muslimin dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan, hendaknya kaum muslimin semuanya tasliim (berlapang dada) untuk mengikuti ijma’ ulama dalam masalah ini.

Selain itu, hendaknya kaum muslimin mendengar dan taat kepada pemerintah kaum Muslimin yang sah selama dalam perkara yang ma’ruf. Dan alhamdulillah pemerintah kita dalam hal ini sejalan dengan ijma’ ulama. Dan para ulama juga menjelaskan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan adalah urusan penguasa, keputusannya di tangan penguasa. Berdasarkan hadits:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385)

As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509). Silakan simak artikel ini untuk pemaparan lebih lengkapnya.

Perselisihan bukan alasan untuk berbuat zhalim

‘Ala kulli haal, apapun perselisihan yang terjadi di antara kaum muslimin, tidak dibenarkan menjadikannya alasan untuk berbuat zhalim. Misalnya dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan, walaupun telah jelas kesalahan sebagian orang yang menggunakan metode hisab falaki, tetap tidak dibenarkan berbuat kezhaliman kepada orang-orang yang berpendapat demikian. Ataupun sebaliknya, orang-orang yang menggunakan metode hisab falaki pun tidak boleh berbuat zhalim kepada selainnya. Zhalim itu haram hukumnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Allah tidak mencintai orang-orang yang zhalim” (QS. Al Imran: 57)

Allah Ta’ala juga berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

يا عبادي ! إني حرَّمتُ الظلمَ على نفسي وجعلتُه بينكم محرَّمًا . فلا تظَّالموا

Wahai hamba-Ku, Aku haramkan bagiku kezhaliman, dan juga telah Aku jadikan itu haram bagi kalian. Maka janganlah kalian saling berbuat zhalim” (HR. Muslim 2577).

Zhalim artinya menempatkan sesuai bukan pada tempatnya, berbuat sesuatu tanpa hak. Yang termasuk perbuatan zhalim terkait masalah ini diantaranya:

  • Berdebat kusir yang didasari fanatik golongan tanpa dasar ilmu agama
  • Saling mencela dan mencaci
  • Saling memboikot, tidak mau saling bicara, tidak mau saling bermuamalah
  • Saling bertengkar dan melukai
  • Atau bahkan saling mengkafirkan

Perselisihan, sebagaimana sudah dijelaskan, itu banyak dan banyak pula jenisnya. Ada perselisihan yang wajib ditoleransi masing-masing pendapatnya, ada pula perselisihan yang tidak bisa ditoleransi karena kebenarannya sudah jelas. Perselisihan pun bertingkat-tingkat level kesalahan dan tingkat pengingkarannya. Dan dalam semuanya itu tidak diperkenankan berbuat kezhaliman. Orang yang mempelajari ilmu agama dengan mendalam akan mengetahui bagaimana menyikapi suatu perselisihan dengan sikap yang benar dan porsi yang pas.

Hendaknya dalam perselisihan kita saling menasehati dengan mengedepankan kasih sayang, saling menginginkan kebaikan pada diri orang yang dinasehati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl:125)

Jangankan dalam perselisihan masalah hilal-hisab yang notabene merupakan syubhat dikalangan orang pada umumnya, bahkan terhadap perkara-pekara yang jelas kebenaran pun semisal menasehati orang-orang yang meninggalkan shalat, tidak mau memakai jilbab, sering melakukan kesyirikan, sering melakukan kebid’ahan kita tetap mengedepankan cara-cara yang santun, penuh kasih sayang, dan menginginkan kebaikan atas mereka. Bukan cara-cara kasar, sembrono, yang menimbulkan pertikaian atau kezhaliman.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان

Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Boleh jadi dalam satu sisi kita membenci saudara kita karena satu hal, namun di sisi lain banyak hal-hal lain yang menjadi alasan kita untuk mencintainya. Boleh jadi kita membenci saudara kita karena penyimpangan dan kemungkaran yang ia lakukan, namun kita masih memiliki porsi cinta terhadapnya karena ia beriman kepada Allah, karena ibadahnya kepada Allah, karena ketaatannya dalam hal lain kepada Allah.

Semoga apa yang sedikit ini bermanfaat, semoga kaum muslimin tetap bersatu padu dalam kebenaran, saling mendukung dan menjunjung satu sama lain. Saling menopang dan bertumpu bagaikan satu jasad.

مَثَلُ المُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَ تَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الجَسَدِ إِذَا اشْتَكىَ مِنْهُ عُضْوٌ تًَدَاعَى سَائِرُ الجَسَدِ.

Kaum mukminin itu dalam masalah cinta dan kasih sayang mereka bagaikan satu jasad, apabila salah satu anggota badan merasa sakit, maka seluruh badan merasakannya“ (HR Muslim 2586).

Wabillahit Taufiiq

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Paman Paman Nabi Muhammad, Kesederhanaan Nabi Muhammad, Kriteria Suami Menurut Islam, Kepribadian Wanita Muslimah


Artikel asli: https://muslim.or.id/17233-menyikapi-perselisihan-dalam-penentuan-awal-dan-akhir-ramadhan.html